Apakah benar bahwa kekristenan dipengaruhi Helenisme (filsafat Yunani, terutama Platonisme)? Berapa jauhkah pengaruh itu membentuk ajaran Tritunggal seperti yang dikatakan oleh Saksi-Saksi Yehuwa (SSY)? Dalam model tanya jawab bacalah diskusi berikut!
(TANYA)
SAKSI-SAKSI YEHUWA menyebut bahwa mulai abad ke-II M, para ‘pemikir Kristen’ membuat upaya yang sungguh-sungguh untuk mencapai para cendikiawan kafir. Guru-guru Kristen memadukan elemen-elemen filsafat dari budaya Helenistik di sekitar mereka ke dalam ajaran mereka. Filo dari Alexandria (abad-1) seolah-olah menunjukkan bahwa Alkitab boleh saja dikawinkan dengan gagasan Plato dan menunjukkan bahwa Yudaisme selaras dengan Humanisme Yunani-Romawi. Pemikirannya diteruskan Klemen dari Alexandria (abad-2) dan Origen (abad-3) yang menjadikan Neoplatonisme sebagai dasar yang disebut ‘filsafat Kristen’. Guru-guru Kristen itu telah menjadikan kekristenan dan filsafat Yunani menjadi satu tanpa dapat dipisahkan, dan akibat perpaduan itu, doktrin Tritunggal (abad-4) merembes ke dalam kekristenan.
(JAWAB)
Apakah benar bahwa kekristenan & ajaran Tritunggal dipengaruhi Helenisme (filsafat Yunani, terutama Platonisme)? Helenisme sebagai budaya memang ada pengaruhnya pada Alkitab, misalnya Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani dan Perjanjian Lama juga diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani (Septuaginta), namun sekalipun rasul Yohanes menggunakan istilah Yunani ‘Logos’ untuk menjelaskan hakekat Yesus, pengaruh ajaran Plato ke dalam kekristenan perlu dipertanyakan kebenarannya, apalagi kalau disebut menghasilkan ajaran Tritunggal.
Memang benar bahwa Filo, dan Klemen dan muridnya Origen berusaha memadukan Platonisme/Neo-Platonisme ke dalam ke-yahudi/kristen-an, tetapi apakah itu berarti bahwa ajaran kekristenan dipengaruhi Platonisme?
Plato (428-347sM) membagi realita menjadi ‘Dunia Bentuk/Ide’ dan ‘Dunia Materi.’ Bentuk/Ide yang tertinggi dan paling sempurna disebut ‘Yang Baik’ dan pengetahuan tentang itu menjadi sumber pembimbing dalam menentukan keputusan moral. Yang kelihatan di dunia ini yang diserap pancaindera lebih rendah dan merupakan copy tidak sempurna dari sumber di dunia Bentuk/Ide.
Pemikiran Plato dalam perkembangan ‘Middle Platonism’ dijabarkan sebagai hirarki prinsip ilahi yang dimulai dengan prinsip tertinggi yang disebut ‘Yang Satu’ yang mengandung ‘pikiran ilahi’ yang dipertentangkan dengan dunia materi atau jiwa yang jahat. Diperlukan pelarian dari yang jahat untuk mencapai ke arah ‘Yang Satu’ itu. Filsuf Yahudi Filo Yudaeus (15sM-c.45M) berusaha mengawinkan pemikiran ini dengan Yudaisme. Ia menyebut adanya Logos sebagai perantara antara Allah dan Manusia dan disebut firman atau hikmat Allah. Sekalipun pengaruhnya kuat dan tidak ditolak, para pemikir Yahudi juga tidak menerimanya.
Pada abad berikutnya berkembang ajaran ‘Gnostik’ (abad-2-3, ‘gnosis’ adalah pengetahuan yang dinyatakan) yang mengajarkan bahwa ‘percikan api ilahi’ jatuh dari realita ilahi ke alam materi yang jahat dan terpenjara dalam diri manusia. Melalui kebangunan kembali pengetahuan, elemen ilahi dalam diri manusia dapat kembali ke sumbernya. Bagi Gnostik, ada keberadaan asal yaitu Tuhan yang tidak dikenal, dan darinya ter-pancar/emanasi ilah-ilah lebih rendah yang berakhir dengan ‘Sofia’ (hikmat) yang memiliki keinginan untuk mengetahui ‘Keberadaan Tertinggi’ itu. Dari Sophia terbentuk ‘ilah yang merosot yang jahat yang disebut ‘demiurge’ yang dikirim untuk menyelamatkan manusia.’ Ada gnostik yang menyamakan demiurge dengan Allah Perjanjian Lama, dan ada yang mengatakan bahwa ‘Kristus, roh ilahi’ merupakan logos demigod yang mendiami manusia Yesus dan tidak mati disalib, melainkan kembali kepada sumbernya. Gnostik menolak penebusan Yesus Kristus dan kebangkitan tubuh.
Pemikiran Middle-Platonism diajarkan Amonius Saccas (c.174-c.242) dan dikembangkan muridnya Plotinus (205-270) sebagai Neo-Platonisme yang mengambarkan realita sebagai hirarki keberadaan yang makin ke bawah makin rendah dan merupakan ekspresi yang lebih rendah dari yang di atasnya, dan merupakan proses pencurahan energi Allah yang bertingkat. Tingkat teratas dari pencurahan ini disebut Logos dan tingkat di bawah dipancarkan/emanasi dari yang di atasnya, demikian seterusnya. Bagi Plotinus, proses emanasi yang merosot ke bawah diatasi dengan keinginan perenungan dari yang bawah menuju yang atas ke arah ‘Yang Satu/Baik’ itu. Tindakan kreatif dan ekspresif awal dari ‘yang Satu’ itu adalah ‘Nous’ (intelek atau Roh), dari sinilah kemudian terbentuk jiwa, yang membentuk, mengatur, dan memelihara alam materi. Peningkatan dari yang materi menuju ‘Yang Satu/Baik’ itu dilakukan melalui perenungan dan penyadaran.
Plotinus menolak gagasan Gnostik yang menyebut dunia materi itu jahat, tetapi dalam banyak segi lainnya keduanya saling mempengaruhi. Di satu sisi nafas Gnostik memasuki Neo-Platonisme, di sisi lain nafas Neo-Platonisme memasuki Gnostikisme. Pengaruh Neo-Platonisme masuk melalui Klemen dan kemudian muridnya Origen. Klemen (150-215) menolak ajaran Gnostik yang menekankan keselamatan melalui pengetahuan esoterik, namun Klemen berusaha menjembatani pemikiran Yunani, Gnostik, dengan Injil. Baginya keselamatan hanya oleh iman tetapi juga menjadi dasar gnosis.
Origen (185-254), murid Klemen, juga belajar pada Ammonius Saccas, pencetus Neo-Platonisme, dan mencampurkan konsep Platonisme dengan Injil. Baginya Allah menciptakan mahluk spiritual melalui Logos, aksi ini menunjukkan pembatasan dalam diri Allah. Origen berspekulasi bahwa jiwa itu merosot bertingkat, ada yang menjadi malaekat, ada yang menjadi manusia, dan yang jahat menjadi setan. Origen ditengarai bersifat Platonik dan terpengaruh tulisan Gnostik (Kisah Yohanes) karena ia menyebutkan Logos (firman) lebih rendah dari Bapa, bahwa Yesus bangkit secara spiritual dan dilihat berbeda-beda oleh orang tergantung tingkat spiritual mereka, menolak adanya neraka, dan secara moral mendukung universalisme. Karena pandangannya tentang perendahan Logos dan pemisahan dari Allah maka pada tahun 362, setengah muridnya pindah mengikuti Athanasius dan pada tahun 399 pandangannya di tolak gereja. Secara resmi teologia Origen ditolak raja Justinus I (543) dan diteguhkan dalam Konsili di Konstantinopel (553).
Arius (256-336) belajar di sekolah Anthiokia dibawah guru Yunani Lucian dan memadukan Neoplatonisme ke dalam pemikirannya. Sekolah Anthiokia terkenal sebagai sekolah yang merendahkan Kristus sekedar sebagai ciptaan lebih rendah dari Allah. Pre-existence Yesus bukanlah Allah tapi ciptaan pertama yang ‘seperti Allah’ (homoi-ousius) atau ‘demigod,’ semacam konsep ‘demiurge’ dalam Gnostik. Bagi Arius karena Yesus ciptaan, maka ia bukan Allah, dan bukan penebus karena hanya Allah yang bisa menebus.
Arius ditolak gereja Alexandria namun mengumpulkan murid-murid, dan kemudian diadakan Konsili Nicaea (325) yang menolak pengajarannya. Nicaea mengaku Yesus ‘sama dengan Allah’ (homoousius). Sekalipun telah ditolak gereja, secara sporadis masih ada kelompok yang menganut fahamnya, tetapi pada abad-7 hilang pengaruhnya. Kepercayaan Arius kemudian diteruskan kelompok Unitarian (abad-16), dan Christadelphian dan Saksi-Saksi Yehuwa (abad-19). Ensyclopaedia Britannica menyebut: “The Christology of Jehovah’s Witnesses, also, is a form of Arianism; they regard Arius as forerunner of Charles Taze Russel, the founder of their movement.”
Dari sejarah ini kita dapat mengetahui bahwa memang ada pengaruh neo-platonisme dalam teologia Kristen, khususnya gereja Katolik pada masa itu, namun harus dicatat bahwa pengaruh yang mempengaruhi Klemen dan Origen justru berseberangan dengan mayoritas gereja, sehingga pengajaran Origen secara tegas kemudian ditolak gereja. Lebih-lebih pada akhir abad pertengahan (500-1500), pada masa Reformasi yang bernafas ‘sola scriptura’ maka pengaruh filsafat kristen yang platonik ditolak teologia Kristen Reformasi.
Sebaliknya kita dapat melihat bahwa pengaruh Platonisme/ Neoplatonisme, Gnostik, Origen, dan terutama Ariuslah yang mempengaruhi berat kepercayaan SSY. Konsep Saksi Yehuwa tentang Kristus yang adalah ciptaan jelas bersifat neo-platonis yang diajarkan baik oleh Origen maupun Arius dan konsep kepercayaan Yesus sebagai demigod mencerminkan pandangan Gnostik mengenai ‘demiurge’ maupun teori ‘emanasi’ Neo-Platonisme. Ajaran gnostik yang menganggap kebangkitan Yesus secara roh yang mempengaruhi Origen juga menjadi keyakinan SSY, demikian juga ajaran Origen tentang tidak adanya neraka diajarkan SSY. Konsep Arius mengenai Yesus yang adalah ciptaan dan bukan Allah sehingga tidak mungkin menjadi penebus juga menjiwai ajaran SSY, dan konsep Neoplatonis mengenai roh kudus (nous) sebagai energi Allah juga diajarkan SSY.
Dari sini kita dapat melihat bahwa kritik SSY bahwa kekristenan terpengaruh platonisme/neoplatonisme sebenarnya mengarah pada diri SSY sendiri. Bagi umat Kristen, Yesus adalah Tuhan & Allah yang sehakekat dengan Allah Bapa (homo-ousius) dan bukan lebih rendah seperti yang dipercaya SSY, yang bukan saja mempercayai Yesus lebih rendah dan tidak sehakekat dengan Bapa, tetapi juga bahwa Yesus adalah ciptaan dan bukan Allah.
Kita perlu menyadari bahwa gagasan Tritunggal (Allah yang tiga dan Esa) sudah terkandung dalam PL jauh sebelum Plato lahir. Dalam kitab Kejadian yang ditulis satu milenium sebelum Plato, disebutkan keberadaan Allah yang jamak (Kej.1:1-2,26;2:22), dan ketiganya digambarkan dalam peristiwa yang sama dimana Allah menjumpai Abraham dalam diri Malak Yahweh (Kej.16,18; Hk.13; Malak bukan malaekat biasa karena berfirman atas Nama-Nya sendiri), dan Yesaya (abad-6sM) sebelum Plato lahir menggambarkan ketritunggalan yang sama (Yes.63). Yohanes (abad-1) menggunakan istilah ‘logos’ menulis kitabnya sebelum Plotinus lahir dan mengawali Injilnya yang menyamakan ‘Logos’ dengan Allah Elohim yang sudah ada sejak mulanya (Yoh.1:1 dan Kej.1:1 (LXX) menggunakan istilah ‘arche’), demikian juga dalam kitab Wahyu, baik Bapa mau pun Anak disebutkan ‘arche’ dan ‘telos’ (yang awal dan yang terakhir, Why.1:17-18;22:13; band.1:8;21:6), dan juga ‘alfa’ dan ‘omega’ (huruf pertama dan terakhir abjad Yunani, Why.1:7-8;2:8;21:6;22:13). Sekalipun belum berbentuk rumusan doktrin, baik Petrus (1Ptr.1:2), Yohanes (Why.1:4-5), dan Paulus (2Kor.13:13) menggambarkan ‘ketiga-Nya yang esa’ dalam ucapan berkat mereka. Paulus mengidentikkan Roh Kudus (1Kor.6:19) dengan Roh Allah (1Kor.3:16) dan Roh Yesus (Kis.16:7; Flp.1:19), Pribadi Allah yang mendiami hati manusia sebagai Bait-Nya (Rm.8:15; Gal.4:6).
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa kepercayaan ‘Tritunggal’ berasal dari Alkitab, sedangkan kepercayaan ‘Anti Tritunggal’ SSY-lah yang terpengaruh ajaran Platonis/Neo-Platonis/Gnostik yang sebelumnya mempengaruhi Origen maupun Arius. Perumusan Tritunggal sebagai doktrin di Nicea (325 = Yesus adalah Allah) dan Konstantinopel (381 = Roh Kudus adalah Allah) bukan menciptakan ajaran baru, melainkan usaha mayoritas gereja menolak pengajaran ‘anti-trinitarian’ Arius dan mengembalikan dan memperjelas ajaran dan pengakuan iman Alkitab yang sudah dipercaya sejak abad pertama, sewaktu Yesus hidup di bumi (band. Yoh 20:28).