Perang Salib: Latar Belakang, Kronologi, Periode Terjadinya

Crusades (via: veryshorthistory.com)
Perang  Salib (crusades) adalah kumpulan gelombang dari pertikaian agama bersenjata yang dimulai oleh kaum Kristiani pada periode 1095 – 1291; biasanya direstui oleh Paus atas nama Agama Kristen, dengan tujuan untuk menguasai kembali Yerusalem dan “Tanah Suci” dari kekuasaan Muslim dan awalnya diluncurkan sebagai respon atas permohonan dari Kekaisaran Byzantium yang beragama Kristen Ortodox Timur untuk melawan ekspansi dari Dinasti Seljuk yang beragama Islam ke Anatolia. Skema penomoran tradisional atas Perang Salib memasukkan 9 ekspedisi besar ke Tanah Suci selama Abad ke 11 sampai dengan Abad ke 13. “Perang Salib” lainnya yang tidak bernomor berlanjut hingga Abad ke 16 dan berakhir ketika iklim politik dan agama di Eropa berubah secara signifikan selama masa Renaissance.
Perang Salib pada hakikatnya bukan perang agama, melainkan perang merebut kekuasaan daerah. Hal ini dibuktikan bahwa tentara Salib dan tentara Muslim saling bertukar ilmu pengetahuan.
Perang Salib berpengaruh sangat luas terhadap aspek-aspek politik, ekonomi dan sosial, yang mana beberapa bahkan masih   berpengaruh   sampai   masa   kini.   Karena   konfilk   internal   antara   kerajaan-kerajaan   Kristen   dan kekuatan-kekuatan politik, beberapa ekspedisi Perang Salib (seperti Perang Salib Keempat) bergeser dari tujuan semulanya dan berakhir dengan dijarahnya kota-kota Kristen, termasuk ibukota Byzantium, Konstantinopel-kota yang paling maju dan kaya di benua Eropa saat itu. Perang Salib Keenam adalah perang salib pertama yang bertolak tanpa restu resmi dari gereja Katolik, dan menjadi contoh preseden yang memperbolehkan penguasa lain untuk secara  individu  menyerukan  perang  salib  dalam  ekspedisi  berikutnya  ke  Tanah  Suci.  Konflik  internal  antara kerajaan-kerajaan Muslim dan kekuatan-kekuatan politik pun mengakibatkan persekutuan antara satu faksi melawan faksi lainnya seperti persekutuan antara kekuatan Tentara Salib dengan Kesultanan Rum yang Muslim dalam Perang Salib Kelima.

A.Situasi yang Menjadi Penyebab Perang Salib

1) Situasi di Eropa
Asal mula ide perang salib adalah perkembangan yang terjadi di Eropa Barat sebelumnya pada Abad Pertengahan, selain  itu  juga  menurunnya  pengaruh  Kekaisaran  Byzantium  di  timur  yang  disebabkan  oleh  gelombang  baru serangan Muslim Turki. Pecahnya Kekaisaran Carolingian pada akhir Abad Ke-9, dikombinasikan dengan stabilnya perbatasan Eropa sesudah peng-Kristen-an bangsa-bangsa Viking, Slav dan Magyar, telah membuat kelas petarung bersenjata yang energinya digunakan secara salah untuk bertengkar satu sama lain dan meneror penduduk setempat. Gereja berusaha untuk menekan kekerasan yang terjadi melalui gerakan-gerakan Pax Dei dan Treuga Dei. Pada tahun 1063, Paus Alexander II memberikan restu kepausan bagi kaum Kristen Iberia untuk memerangi kaum Muslim. Paus memberikan baik restu kepausan standar maupun pengampunan bagi siapa saja yang terbunuh dalam pertempuran  tersebut.  Maka,  permintaan  yang  datang  dari  Kekaisaran  Byzantium  yang  sedang  terancam  oleh ekspansi kaum Muslim Seljuk, menjadi perhatian semua orang di Eropa. Hal ini terjadi pada tahun 1074, dari Kaisar Michael VII kepada Paus Gregorius VII dan sekali lagi pada tahun 1095, dari Kaisar Alexius I Comnenus kepada Paus Urbanus II.

2) Situasi di Timur Tengah
Keberadaan Muslim di Tanah Suci harus dilihat sejak penaklukan bangsa Arab terhadap Palestina dari tangan Kekaisaran Bizantium pada abad ke-7. Hal ini sebenarnya tidak terlalu mempengaruhi penziarahan ke tempat-tempat suci kaum Kristiani atau keamanan dari biara-biara dan masyarakat Kristen di Tanah Suci Kristen ini. Sementara itu, bangsa-bangsa di Eropa Barat tidak terlalu perduli atas dikuasainya Yerusalem–yang berada jauh di Timur–sampai ketika mereka sendiri mulai menghadapi invasi dari orang-orang Islam dan bangsa-bangsa non-Kristen lainnya seperti bangsa Viking dan Magyar. Akan tetapi, kekuatan bersenjata kaum Muslimlah yang berhasil memberikan tekanan yang kuat kepada kekuasaan Kekaisaran Byzantium yang beragama Kristen Orthodox Timur.
Titik balik lain yang berpengaruh terhadap pandangan Barat kepada Timur adalah ketika pada tahun 1009, kalifah Bani Fatimiah, Al-Hakim bi-Amr Allah memerintahkan penghancuran Gereja Makam Suci (Church of The Holy Sepulchre). Penerusnya memperbolehkan Kekaisaran Byzantium untuk membangun gereja itu kembali dan memperbolehkan para peziarah untuk berziarah di tempat itu lagi. Akan tetapi banyak laporan yang beredar di Barat tentang kekejaman kaum Muslim terhadap para peziarah Kristen. Laporan yang didapat dari para peziarah yang pulang ini kemudian memainkan peranan penting dalam perkembangan Perang Salib pada akhir abad itu.

B. Penyebab Langsung Perang Salib

Penyebab langsung dari Perang Salib Pertama adalah permohonan Kaisar Alexius I kepada Paus Urbanus II untuk menolong Kekaisaran Byzantium dan menahan laju invasi tentara Muslim ke dalam wilayah kekaisaran tersebut. Hal ini dilakukan karena sebelumnya pada tahun 1071, Kekaisaran Byzantium telah dikalahkan oleh pasukan Seljuk yang dipimpin oleh Sulthan Alp Arselan di Pertempuran Manzikert, yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasil mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 40.000 orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia. Dan kekalahan ini berujung kepada dikuasainya hampir seluruh wilayah Asia Kecil (Turki modern). Meskipun Pertentangan Timur-Barat sedang berlangsung antara gereja Katolik Barat dengan gereja Orthodox Timur, Alexius I mengharapkan respon yang positif atas permohonannya. Bagaimanapun, respon yang didapat amat besar dan hanya sedikit bermanfaat bagi Alexius I. Paus menyeru bagi kekuatan invasi yang  besar  bukan  saja  untuk  mempertahankan  Kekaisaran  Byzantium,  akan  tetapi  untuk  merebut  kembali Yerusalem, setelah Dinasti Seljuk dapat merebut Baitul Maqdis pada tahun 1078 dari kekuasaan dinasti Fathimiyah yang berkedudukan di Mesir. Umat Kristen merasa tidak lagi bebas beribadah sejak Dinasti Seljuk menguasai Baitul Maqdis.

C. Kronologis Perang Salib
Perang salib setidaknya terjadi 9 kali, sehingga setiap aksi perang nama-nama perang salib diikuti dengan jumlah atau kali keberapa perang tersebut terjadi. Sehingga perang salib menjadi perang salib I – perang salib IX. Namun dalam karya ilmiah ini saya memasukkan 3 kali peristiwa penting dalam sejarah perang salib yang akan di jelaskan lewat tabel dibawah ini.

Tabel Periodeisasi Perang Salib
Periode
Tahun
Tokoh
Keterangan
Perang
Salib I
1096-1144 M

(Ada literaturyanmengatakan 1095-1099 M.
-       Godfrey of
Buillon,
-       BaldwiI, Count Raymond,
-       Bohemond, GraaToulouse,
-       Tancredan
Robert Hertog
Piha Atabe Seljuk  telamenghalangi orang   Kristiani   menziarahi   tanah   sucBaitul Maqdis dengan cara mengenakacukai yangtinggi bagi orang yanmelalui wilayah   wilayah   sebelum   sampai   kBaitul Maqdis. Kemarahan orang Kristesemakimemuncak dengan adanya penghancuragereja suci olekerajaaFatimiyyah pada tahun 1009 M, dimangerej tersebut  dibangun  di  atas  makam nabi Isa as.
Perang
SaliII
1144-1192 M

Versi lain

1147-1149 M
SalahuddiAl-
Ayubi
Jatuhnya beberapa wilayah    kekuasaaIslam ke  tangan  kaum  Salimembangkitkan kesadaran kaum Muslimin untuk menghimpun kekuataguna menghadapi  pasukan  Salib  yang dikomando oleImaduddiZangi,Gubernur Mosul, yansetelaitu diganti dengan putranya Nuruddin Zangi. Kota- kota kecil dibebaskannya dari kaum Salib, antara lain:   DamaskusAntiokia, daMesir.  Keberhasilan  kaum  Muslimimeraibanyak kemenangaterutamsetelamunculnya SalahuddiYusuf alAyyubi  (Saladin)  di  Mesir  yang berhasimembebaskaBaitul Maqdis.

Priode ini juga ditandai dengatelah disepakat perjanjia antara  kaum  Salib



dengan  Islam.  Intinya  adalah  perjanjian damai yang mana daerah pedalaman akan menjadi milik kaum Muslimin dan umat Kristen yang akan ziarah ke Baitul Maqdis akan terjamin keamanan-nya.
Perang
Salib III
1193-1291 M
Versi lain
1189 – 1191 M
Kaisar Fredrick I
Barbarosa dari Jerman Philip II August (Raja Prancis dan Inggris), Richard The Lion Heart.

Perang Salib III ini timbul sebab bangkitnya Mesir dibawah pimpinan Shalahuddin, berkat kesuksesannya menaklukkan Baitul Maqdis dan kemampuannya mengatasi angkatan- angkatan perang Prancis, Inggris, Jerman dan negara-negara Eropa lainnya. Kejadian tersebut dapat membangunkan Eropa-Barat untuk menyusun angkatan Perang Salib selanjutnya atas saran Guillaume.

Priode ini juga ditandai dengan perpecahan internal pasukan Salib. Penyerangan terhadap   Konstantinopel   oleh   pasukan Salib sendiri.



1. Perang  Salib I
Pada musim semi tahun 1095 M, 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa Perancis dan Norman, berangkat menuju  Konstantinopel,  kemudian  ke  Palestina.  Tentara  Salib  yang  dipimpin  oleh  Godfrey,  Bohemond,  dan Raymond ini memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea dan tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa). Di sini mereka mendirikan County Edessa dengan Baldawin sebagai raja. Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai Antiochea dan mendirikan Kepangeranan Antiokhia di Timur, Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Baitul-Maqdis (15 Juli 1099 M) dan mendirikan Kerajaan Yerusalem dengan rajanya, Godfrey. Setelah penaklukan Baitul-Maqdis itu, tentara Salib melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M), Tripoli (1109 M) dan kota Tyre (1124 M). Di Tripoli mereka mendirikan County Tripoli, Rajanya adalah Raymond.
Selanjutnya Syeikh Imaduddin Zanki pada tahun 1144 M, penguasa Moshul dan Irak, berhasil menaklukkan kembali Aleppo, Hamimah, dan Edessa. Namun ia wafat tahun 1146 M. Tugasnya dilanjutkan oleh puteranya, Syeikh Nuruddin Zanki. Syeikh Nuruddin berhasil merebut kembali Antiokhia pada tahun 1149 M dan pada tahun 1151 M, seluruh Edessa dapat direbut kembali.

2. Perang  Salib II
Kejatuhan County Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib kedua. Paus Eugenius III menyampaikan perang suci yang disambut positif oleh raja Perancis Louis VII dan raja Jerman Condrad II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syria. Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh Syeikh Nuruddin Zanki. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Condrad II sendiri melarikan diri pulang ke negerinya. Syeikh Nuruddin wafat tahun 1174 M. Pimpinan perang kemudian dipegang oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M, setelah berhasil mencegah pasukan salib untuk menguasai Mesir. Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar adalah merebut kembali Yerusalem pada tahun 1187 M, setelah beberapa bulan sebelumnya dalam Pertempuran Hattin, Shalahuddin berhasil mengalahkan pasukan gabungan County Tripoli dan Kerajaan Yerusalaem melalui taktik penguasaan daerah. Dengan demikian berakhirlah Kerajaan Latin di Yerussalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir. Sehabis Yerusalem, tinggal Tirus merupakan kota besar Kerajaan Yerusalem yang tersisa. Tirus yang saat itu dipimpin oleh Conrad dari Montferrat berhasil sukses dari pengepungan yang dilakukan Shalahuddin sebanyak dua kali. Shalahuddin kemudian mundur dan menaklukan kota lain, seperti Arsuf dan Jaffa.

3. Perang  Salib III
Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum muslimin sangat memukul perasaan tentara salib. Mereka pun menyusun rencana balasan. Selanjutnya, tentara salib dipimpin oleh Frederick Barbarossa raja Jerman, Richard the Lionheart raja Inggris, dan Philip Augustus raja Perancis memunculkan perang Salib III. Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M dengan dua jalur berbeda. Pasukan Richard dan Philip melalui jalur laut dan pasukan Barbarossa-saat itu merupakan yang terbanyak di Eropa-melalui jalur darat, melewati Konstantinopel. Namun, Barbarossa meninggal di daerah Cilicia karena tenggelam di sungai, sehingga menyisakan Richard dan Philip. Sebelum menuju Tanah Suci, Richard dan Philip sempat menguasai Siprus dan mendirikan Kerajaan Siprus. Meskipun mendapat tantangan berat dari Shalahuddin, namun mereka berhasil merebut Akka yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaan Latin. Philip kemudian balik ke Perancis untuk "menyelesaikan" masalah kekuasaan di Perancis dan hanya tinggal Richard yang melanjutkan  Perang  Salib  III. Richard  tidak  mampu  memasuki  Palestina  lebih  jauh,  meski  bisa  beberapa  kali mengalahkan Shalahuddin. Pada tanggal 2 Nopember 1192 M, dibuat perjanjian antara tentara salib dengan Shalahuddin yang disebut dengan Shulh al-Ramlah. Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa orang-orang Kristen yang pergi berziarah ke Baitul Maqdis tidak akan diganggu.

4. Perang  Salib IV
Pada tahun 1219 M, meleteus kembali peperangan yang dikenal dengan Perang Salib periode keenam, dimana tentara Kristen dipimpin oleh raja Jerman, Frederick II, mereka berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat bantuan dari orang-orang Kristen Qibthi. Dalam serangan tersebut, mereka berhasil menduduki Dimyat, Raja Mesir dari Dinasti Ayyubiyah waktu itu, al-Malik al-Kamil, membuat penjanjian dengan Frederick. Isinya antara lain Frederick bersedia melepaskan Dimyat, sementara al-Malik al-Kamil melepaskan Palestina, Frederick menjamin keamanan kaum muslimin di sana, dan Frederick tidak mengirim bantuan kepada Kristen di Syria. Dalam perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1247 M, di masa pemerintahan al-Malik al-Shalih, penguasa Mesir selanjutnya. Ketika Mesir dikuasai oleh dinasti Mamalik yang menggantikan posisi Daulah Ayyubiyyah, pimpinan perang dipegang oleh Baybars, Qalawun dan Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah. Pada masa merekalah Akka dapat direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1291 M. Demikianlah Perang Salib yang berkobar di Timur. Perang ini tidak berhenti di Barat, di Spanyol, sampai umat Islam terusir dari sana.
Sumber : Penulis hanya melihat pada 3 priode utama dari perang salib versi Philip Khuri Hitti. Meskipun kita tahu perang salib terjadi  lebih dari 3 kali.

D. Respon Dari Kristen Timur Terhadap Ekspedisi Pasukan Salib
Bagi penganut Kristen Timur (di Konstantinopel) walaupun di satu sisi mereka membutuhkan dukungan dan bantuan dari saudara Kristennya dari Eropa untuk menghadapi rongrongan dinasti Seljuk dan Usmaniyah.  Namun, karena terdapat banyak sekali perbedaan antara Kristen Barat dan Timur (termasuk dalam hal karakteristik kebudayaannya di samping perbedaan konsep beragamanya), sebenarnya ada “ganjalan- ganjalan”, terutama pada Kristen Yunani (atau Kristen Timur) terhadap saudaranya dari Barat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Roger Crowley (2013:32) bahwa, dikalangan orang Kristen Yunani (Konstantinopel) menilai saudara-saudara mereka dari Barat seperti petualang Barbar yang tak berbudaya.  Mereka menganggap misi mereka (baca: orang-orang Kristen dari Barat/Pasukan perang salib) penuh kemunafikan, karena mereka sebenarnya memiliki misi penaklukan dibalik simbol dan jargon keagamaan.
“Perang Salib dianggap sebagai proyek untuk membuktikan keteguhan Islam Turki. Terhadap Bani Saljuk-lah, “ras terkutuk, ras yang terkecil dari Tuhan,” Paus Uran II mengarahkan khotbahnya yang sangat menentukan di Clermont pada 1095. Perang itu bertujuan”mengeyahkan ras kotor ini dari tanah kita”. Pidato itu menjadi awal perang salib untuk tahun 350 tahun kemudian. Meski mendapat dukungan dari saudara-saudara Kristen mereka di Barat, peperangan ini ingin menunjukkan siksaan berat bagi orang Byzantium. Dari Togo dan daerah-daerah di depannya mereka didatangi gelombang kesatria perompak, kebutuhan hidup, dan rasa terima kasih dari saudara-saudara Kristen Ortodoks mereka ketika mereka bergerak ke selatan melintasi kekaisaran menuju Yerusalem. Pertemuan ini menimbulkan kesalahpahaman dan kecurigaan  di  antara  mereka. Keduanya  punya  kesempatan  mengamati  dari  dekat perbedaan tata cara dan  bentuk kebaktian masing-masing. Orang Yunani melihat saudara-saudara mereka dari Barat yang berbaju tempur tak lebih dari para petualang barbar yang tka berbudaya; misi mereka penuh kemunafikan karena menopengi penaklukan dengan kesalahan:  “mereka terlalu tinggi hati, kejam dan terkesima oleh keangkaraan Kekaisaran yang telah mendarah daing,” kata Nicetas Chroniates”. (Roger Crowley, 2013: 31-32)
Apa   yang   dikemukakan   oleh   Roger   Crowley  menunjukkan   bahwa,   ada prasangka  yang  tumbuh  antara    Kristen  Barat  dan  Kristen  Timur  (Konstantinopel) Bagi penguasa Konstantinopel, kedatangan tentara salib dari Eropa sebenarnya “menganggu” mereka, karena ada perbedaan-perbedaan sebagaiaman disebutkan sebelumnya.   Sebaliknya, kalangan tentara Salib dari   Barat juga menaruh prasangka terhadap saudara Kristen mereka di Konstantinopel.   Mereka menganggap orang Byzantium sebagai penganut bid’ah dengan pandangan hidup ala orang timur yang berbahaya.    Kecurigaan semakin menjadi-jadi, manakala tentara Salib melihat berdiri sebuah masjid di dalam kota yang akan dipersembahkan kepada perawan Maria itu. (Roger Crowley, 2013:32)
“Konstantinopel sombong dengan kekayaan, pongah dalam tingkah polahnya, dan menyeleweng dalam keimanannya,” tegas prajurit Salib Odo de Deuil”. (Roger Crowley, 2013:32).
Kesalingcurigaan ini barangkali yang mendasari anggapan Paus Urban II mengapa dua bentuk Kristen ini sukar disatukan.  Namun, fakta ini juga bisa menjadi dasar penilaian mengapa perang salib tidak mencapai kesuksesan besar, karena diam - diam masih terdapat “jarak” antara Kristen Timur dan Barat ini.  Pandangan ini terbukti, dalam perang salib IV, bagaimana pasukan Salib (dari Barat) malah berbalik menghancurkan Konstantinopel.
Mobilisasi para prajurit Perang Salib (Kaum Frank) dari Eropa Barat ke Konstantinopel ternyata tidak selalu dianggap positif oleh penguasa Byzantium sendiri. Ada kontroversi yang serius terjadi disini.   Bagi kaum penyerang (kaum Frank) kekalahan Byzantium terhadap Dinasti Seljuq merupakan sesuatu yang memalukan dan strategi  negosiasi  antara  Alexius  (kaisar  Byzantium)  dengan  orang-orang  Islam dianggap oleh mereka sebagai bentuk kelemahan dan sulit dimengerti oleh akal sehat mereka.  Sementara itu, disisi para penguasa Byzantium, kedatangan para prajurit Salib ini  dianggap    sebagai  sebuah  ancaman  terlebih  lagi  dengan  jargon-jargon  mereka tentang perang suci.   Oleh karenanya, para penguasa Yunani ini menganggap kaum Kristen Barat ini sebagai kaum Barbar yang bodoh.
“Di Konstantinopel, para Tentara Salib memasuki dunia yang berbeda.  Mereka menatap penuh takjub pada istana-istana, gereja-gereja, dan taman-taman, karena waktu itu belum ada hal-hal secanggih dan semaju itu di Eropa.  Kota itu juga menjadi tempat koleksi relic terbesar di dunia dan para Tentara Salib mestilah merasa dikelilingi oleh kekuatan dan kesucian Tuhan dari semua sisi.   Tapi mereka juga mesti merasa cemburu dan marh pada orang-orang Yunani,  yang menurut mereka terlihat tidak ayak bagi peninggalan  spiritual  tersebut. Kaum  Frank  yang  suka  berperang  tidak  dapat memahami suatu masyarakat yang berpikir bahwa perang amatlah tidak sesuai dengan ajaran Kristen, dan memilih untuk membuat berbagai perjanjian dengan kaum Muslim serta  mencari  penyelesaian  diplomatic  ketimbang  menumpahkan  darah  yang  dirasa tidak perlu.   Mereka juga tidak dapat menghormati Alexius, Kaisar Byzantium, yang membiarkan dirinya dikalahkan oleh orang Turki.   Para Tentara Salib dari Eropa itu betul-betul  kekurangan  cara  pandang  politik  untuk  memahami  jalan-cerdas  yang diambil oleh orang Byzantium yang telah berhasil menahan Islam di pelabuhan selama berabad-abad. Para tentara itu hanya dapat memandang bahwa kebijakan orang Byzantiumitu pengecut dan tidak terhormat.  Sementara itu, orang Yunan sendiri merasa ngeri terhadap pandangan kaum Frank dan pembicaraan mereka mengenai kesucian perang.  Mereka merasa bahwa para Tentara Salib yang begitu banyak dan berkemah di pinggiran kota mereka adalah ancaman, dan hanya dapat melihat kaum Kristen Barat itu sebagai kaum Barbar yang bodoh.   Alexius tentu saja tidak memercayai para Tentara Salib”. (Karen Amstrong, 2003:250-251).
Jadi diam-diam ada kekhawatiran yang besar di benar Alexius terhadap sikap arogan dan orientasi kekuasaan para bangsawan dan raja Eropa tersebut.   Oleh karenanya, Alexius mengajukan sebuah persyaratan kepada para panglima perang Salib agar setelah daerah-daerah Timur tersebut berhasil di taklukkan, mereka tetap tunduk kepada  kekuasaan imperium  Byzantium.    Tentu  saja  keinginan  ini  ditolak mentah - mentah oleh tentara Salib, bahkan ini dianggap sangat melecehkan semangat suci dari perang Salib.  Hal ini sempat memicu sebuah penyerangan yang dipimpin oleh Godfrey (Keturunan Charlemegne) ke sebuah daerah pinggiran di Konstantinopel. Penyerangan ini berlangsung pada hari Jumat Agung.  Orang-orang Byzantium menganggap serangan di hari Jumat Agung ini sebagai bentuk pelecehan terhadap agama mereka.  Terjadilah perselisihan antara Gereja Barat dan Gereja Yunani.
Namun konflik ini tidak berlangsung lama.  Karena para panglima perang Salib kemudian menyadari bahwa, mustahil mereka dapat menguasai Yerussalem tanpa bantuan dan dukungan dari Byzantium.   Akhirnya dengan berat hati kesepatan yang diajukan oleh Kaisar Alexius diterima oleh tentara Salib.

E. Motif Perang Salib
Sebenarnya tidak mudah untuk dapat memahami motif tindakan (keterlibatan) orang-orang  Kristen  dalam perang salib,  karena  selain perang salib sebagai  sebuah fenomena yang massif, ia juga harus dipahami dalam konteks di masa lalu (yang jauh terpaut waktunya dengan kita sekarang).   Alih-alih ingin memahami, bisa-bisa malah membuat kita terjebak ke dalam simplifikasi fenomena yang rumit tersebut.  Terlebih lagi ini berkenaan dengan perang, motif orang turut berperang.   Bayangkan saja, orang mau turut serta berperang, menjual harta benda yang dimiliki, meninggalkan kampung halaman (dan tanah air), melakukan perjalanan yang sangat jauh (ukuran waktu itu) berbula-bulan dan bahkan tahunan.
Namun dalam masing-masing individu yang terlibat dalam perang salib tersebut dapat dipastikan memiliki berbagai macam motif tindakan.  Ada yang berorientasi nilai (seperti perjuangan suci, membebaskan tanah suci, penyatuan otoritas Gereja, penyatuan para  ksatria  Eropa),  ada  yang  tindakan  rasional  instrumental  (ada  ambisi  dan kepentingan pribadi seperti merebut tanah, mendapatkan kedudukan dan kekuasaan, atau  menaikkan  prestise  sosial),  ada  yang  keikut-sertaannya  berdasarkan  tindakan afektif  (emosional  keagamaan  semata,  solidaritas  sesama  agama  atau  penghapusan dosa)  atau  malah  ada  yang  semata  sebagai  tindakan  tradisional  atau  ikut-ikutan (euporia).
Keragaman motif para prajurit Salib juga diakui oleh Philip K. Hitti (2008: 812). Philip mencatat bahwa, orang-orang seperti Bohemond yang berambisi   mendapatkan kembali kekuasaan demi kepentingan mereka sendiri.  Para saudagar Pisa, Venesia, dan Genoa tertarik untuk ikut serta dalam perang itu karena motif komersial.  Orang-orang romantis, orang yang gelisah, dan para pemberani, termasuk orang-orang Kristen saleh menjadikan perang itu sebagai sandaran baru bagi kehidupan mereka.  Sedangkan bagi mereka-mereka yang merasa banyak dosa, moment perang Salib menjadi wahana penebusan dosa. Kemudian, bagi sebagian besar rakyat Prancis, Lorraine, Italia dan Sisilia, yang tengah berada di bawah tekanan ekonomi dan sosial, membawa salib lebih menjadi salah satu bentuk pembebasan ketimbang hanya sebentuk pengorbanan. Jadi ada beragam motif dan kepentingan pihak Kristen dalam perang salib.  Motifnya tidak hanya bersifat ideologis dan keagamaan, akan tetapi tidak sedikit juga yang berorientasi kepada kepentingan dan motif pragmatis duniawi.

F. Kondisi Sesudah Perang  Salib
Perang Salib Pertama melepaskan gelombang semangat perasaan paling suci sendiri yang diekspresikan dengan pembantaian terhadap orang-orang Yahudi yang menyertai pergerakan tentara Salib melintasi Eropa dan juga perlakuan kasar terhadap pemeluk Kristen Orthodox Timur. Kekerasan terhadap Kristen Orthodox ini berpuncak pada penjarahan kota Konstantinopel pada tahun 1024, dimana seluruh kekuatan tentara Salib ikut serta. Selama terjadinya serangan serangan terhadap orang Yahudi, pendeta lokal dan orang Kristen berupaya melindungi orang Yahudi dari pasukan Salib yang melintas. Orang Yahudi seringkali diberikan perlindungan di dalam gereja atau bangunan Kristen lainnya, akan tetapi, massa yang beringas selalu menerobos masuk dan membunuh mereka tanpa pandang bulu. Pada abad ke-13, perang salib tidak pernah mencapai tingkat kepopuleran yang tinggi di masyarakat. Sesudah kota Acra jatuh untuk terakhir kalinya pada tahun 1291 dan sesudah penghancuran bangsa Occitan (Perancis Selatan) yang berpaham Catharisme pada Perang Salib Albigensian, ide perang salib mengalami kemerosotan nilai yang diakibatkan oleh pembenaran lembaga Kepausan terhadap agresi politik dan wilayah yang terjadi di Katolik Eropa. Orde Ksatria Salib mempertahankan wilayah adalah orde Knights Hospitaller. Sesudah kejatuhan Acra yang terakhir, orde ini menguasai Pulau Rhodes dan pada abad ke-16 dibuang ke Malta. Tentara-tentara Salib yang terakhir ini akhirnya dibubarkan oleh Napoleon Bonaparte pada tahun 1798.

G. Peninggalan
a. Benua Eropa
Perang Salib selalu dikenang oleh bangsa-bangsa di Eropa bagian Barat dimana pada masa Perang Salib merupakan negara negara  Katolik  Roma.  Sungguh  pun  demikian,  banyak  pula  kritikan  pedas  terhadap  Perang  Salib  di negara-negara Eropa Barat pada masa Renaissance.

b. Politik dan Budaya
Perang Salib amat mempengaruhi Eropa pada Abad Pertengahan. Pada masa itu, sebagian besar benua dipersatukan oleh  kekuasaan  Kepausan,  akan  tetapi  pada  abad  ke-14,  perkembangan  birokrasi  yang  terpusat  (dasar  dari negara-bangsa modern) sedang pesat di Perancis, Inggris, Burgundi, Portugal, Castilia dan Aragon. Hal ini sebagian didorong oleh dominasi gereja pada masa awal perang salib.
Meski benua Eropa telah bersinggungan dengan budaya Islam selama berabad-abad melalui hubungan antara Semenanjung Iberia dengan Sisilia, banyak ilmu pengetahuan di bidang-bidang sains, pengobatan dan arsitektur diserap dari dunia Islam ke dunia Barat selama masa perang salib.
Pengalaman militer perang salib juga memiliki pengaruh di Eropa, seperti misalnya, kastil-kastil di Eropa mulai menggunakan bahan dari batu-batuan yang tebal dan besar seperti yang dibuat di Timur, tidak lagi menggunakan bahan kayu seperti sebelumnya. Sebagai tambahan, tentara Salib dianggap sebagai pembawa budaya Eropa ke dunia, terutama Asia.
Bersama perdagangan, penemuan-penemuan dan penciptaan-penciptaan sains baru mencapai timur atau barat. Kemajuan bangsa Arab termasuk perkembangan aljabar, lensa dan lain lain mencapai barat dan menambah laju perkembangan  di  universitas-universitas  Eropa  yang  kemudian  mengarahkan  kepada  masa  Renaissance  pada abad-abad berikutnya.

c. Perdagangan
Kebutuhan untuk memuat, mengirimkan dan menyediakan balatentara yang besar menumbuhkan perdagangan di seluruh Eropa. Jalan-jalan yang sebagian besar tidak pernah digunakan sejak masa pendudukan Romawi, terlihat mengalami peningkatan disebabkan oleh para pedagang yang berniat mengembangkan usahanya. Ini bukan saja karena Perang Salib mempersiapkan Eropa untuk bepergian akan tetapi lebih karena banyak orang ingin bepergian setelah diperkenalkan dengan produk-produk dari timur. Hal ini juga membantu pada masa-masa awal Renaissance di Itali, karena banyak negara-kota di Itali yang sejak awal memiliki hubungan perdagangan yang penting dan menguntungkan dengan negara-negara Salib, baik di Tanah Suci maupun kemudian di daerah-daerah bekas Byzantium.
Pertumbuhan perdagangan membawa banyak barang ke Eropa yang sebelumnya tidak mereka kenal atau amat jarang ditemukan dan sangat mahal. Barang-barang ini termasuk berbagai macam rempah-rempah, gading, batu-batu mulia, teknik pembuatan barang kaca yang maju, bentuk awal dari mesiu, jeruk, apel, hasil-hasil tanaman Asia lainnya dan banyak lagi.



Referensi
•   Carole Hillenbrand, The Crusades, Islamic Perspectives. New York, 2000.
•   P.M. Holt, The Age of the Crusades: The Near East from the Eleventh Century to 1517. New York, 1986.
•   Hans E. Mayer, The Crusades. Oxford, 1965.
•   Jonathan Riley-Smith, The First Crusade and the Idea of Crusading. Philadelphia, 1986.
•   Jonathan Riley-Smith, The Oxford History of the Crusades. Oxford, 1995.
•   As-Suyuthi, Imam, Tarikh Khulafa: Sejarah Para Penguasa Islam. Jakarta: Al-Kautsar, 2006. ISBN 979-592-175-4

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama